Pages

Thursday, January 10, 2013

Tulisan ISD BAB X



Perkembangan Agama Dalam Masyarakat

Hubungan Muslim dan non-Muslim di Australia mengalami pasang surut. Hal ini diakibatkan oleh banyak faktor, misalnya soal kesejarahan, perkembangan situasi yang kompleks dengan adanya isu-isu baik nasional maupun internasional, dan generalisasi yang berlebihan atas eksistensi komunitas Muslim di Australia.
Dari sisi sejarah, datangnya Islam di Australia diyakini dibawa oleh pelaut Makassar pemburu tripang pada tahun 1750, kemudian terjalin hubungan dagang dan perkawinan campuran. Fase berikutnya, pemerintah Australia mendatangkan pengendara unta dari Afghanistan, yang awalnya dipakai untuk mengatasi keadaan alam yang sangat sulit. Pada perkembangan berikutnya, mereka diberdayakan untuk membangun jalur telegraf dan jalur kereta yang disebut Ghan Train. Fase selanjutnya, banyak berdatangan imigran dari negara-negara Eropa dan Timur Tengah. Imigran dan negara Eropa memang tidak signifikan bagi perkembangan komunitas Muslim di Australia. Namun demikian, kedatangan imigran dari negara-negara Arab dan Timur Tengah sangat signifikan dalam sejarah perkembangan Islam di Australia.
Beberapa hal yang mempengaruhi hubungan antara masyarakat Muslim dan non-Muslim di Australia, yaitu dilihat dari jumlah kelompok keagamaan, tidak adanya overlapping antara agama yang berbeda, tidak adanya ghettoisasi, dan tidak adanya politisasi atas perbedaan yang ada, yang pada dasarnya mempengaruhi pasang surut hubungan antar masyarakat itu. Dari hal-hal tersebut, suatu kesimpulan dapat ditarik bahwa meskipun hubungan antara Muslim dan non-Muslim terkadang mengalami fluktuasi, namun masih dikatakan wajar, yang artinya tidak mengarah kepada pengucilan permanen atas kelompok Muslim.
Pesatnya perkembangan komunitas Islam di Australia pada gilirannya tidak lagi di anggap sebagai faktor yang turut menggerakkan perekonomian di Australia, tetapi kemudian dilihat sebagai bagian yang “membahayakan” kelangsungan hidup komunitas kul it putih di Australia yang didominasi budaya Anglo-Saxon. Sebagai akibatnya, hal ini memunculkan kebijakan yang membatasi perkembangan komunitas Muslim dengan dikeluarkannya kebijakan White Australia Policy, 1901.

Kebijakan ini berpengaruh terhadap menyurutnya kedatangan imigran dari Timur Tengah dan negara Arab. Setelah kebijakan tersebut direvisi pada tahun 1958 dan akhirnya dihapus sama sekali pada tahun 1972, barulah komunitas Islam di Australia menggeliat lagi dengan banyaknya imigran dari negara-negara Arab dan Timur Tengah.
Sebagaimana disinggung di atas, hubungan antarmasyarakat mengalami pasang surut, tergantung pada isu-isu yang mewarnai perkembangannya. Hubungan antarmasyarakat pada dasarnya terjalin dengan baik. Selama ini, pemerintah Australia dan masyarakat Australia menghormati pelaksanaan asas multikultur Australia. Namun demikian, hubungan memburuk manakala ada isu intemasional yang merupakan generalisasi berlebihan atas suatu persoalan, atau stigma atas kelompok Muslim Australia yang kemungkinan dipengaruhi oleh opini-opini yang dibangun media massa. Stigma kedekatan Islam dengan terorisme, Arab, dan lain-lain yang menyudutkan umat Islam di Australia, pada beberapa peristiwa telah memunculkan tindakan diskriminatif bahkan kekerasan, seperti ketika dilakukan sweeping pada komunitas Muslim Australia pasca peledakan Bom WTC dan Bom Bali.
Media massa memegang peran penting dalam pembentukan opini publik khususnya yang berkaitan dengan eksistensi kelompok Muslim. Meskipun dalam perkembangannya kelompok Muslim ini mengorganisasi diri dalam berbagai bentuk organisasi, dari organisasi formal yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan sampai organisasi radikal, diskursus yang berkembang dalam masyarakat Australia khususnya yang berkaitan dengan fundamentalismc atau terorisme tidak harus dihubungkan dengan keberadaan organisasi Islam ini. Sayangnya, media massa terkadang bias dalam pemberitaannya sehingga sikap masyarakat yang tidak berlebihan atas suatu hal diekspos besar-besaran oleh media. Hal ini sering menimbulkan salah persepsi mengenai eksistensi komunitas Muslim di Australia dan keterkaitannya dengan isu-isu terorisme. Dengan semangat multikulturalisme, seharusnya bisa dibangun kondisi yang lebih kondusif bagi munculnya pemahaman yang komprehensif mengenai komunitas Muslim di Australia.

Kebijakan Pemerintah Australia terhadap Minoritas Muslim
            Kebijakan pemerintah federal Australia terhadap minoritas Muslim berjalan dalam ruang politik yang dikuasai oleh dua kekuatan politik, yaitu gerakan konservatif dan gerakan progresif. Kedua kekuatan politik itu, sesuai dengan sistem yang berlaku di Australia, selalu berusaha membangun kebijakan serasi sehingga bentuknya merupakan pelbagai variasi penerapan nilai-nilai liberalisme. Persamaan sikap kedua kekuatan politik yang paling menonjol adalah konsistensi mereka dalam menjalankan prinsip sekularisme dan praktik pemerintahan Westminster. Kedua konsistensi ini telah menempatkan komunitas Muslim Australia sebagai objek yang harus mengalami sosialisasi nilai-nilai liberal dan peradaban Barat.
Kedua kekuatan politik yang dalam praktik kenegaraan terwakili oleh Partai Liberal dan Partai Buruh selalu berusaha menegakkan nilai-nilai sekuler dalam masyarakat. Manifestasinya ialah memegang teguh peradaban Barat yang memisahkan kegiatan-kegiatan sosial politik dari kegiatan-kegiatan keagamaan. Peradaban Barat menganggap kegiatan sosial politik masyarakat sebagai urusan masyarakat sendiri. Oleh karena itu, kedua kekuatan politik tersebut akan selalu melihat komunitas Muslim sebagai komunitas yang tidak mengunggulkan identitas keagamaan dalam pergaulan kemasyarakatan. Program multikulturalisme tampak sebagai koleksi budaya dan bukan koleksi cita-cita kelompok sosial beragama. Kelompok sosial Islam dianggap sebagai bagian dari koleksi budaya tersebut.
Kedua kekuatan politik juga sepakat menjaga sistem politik yang merupakan warisan Inggris, di mana parlemen memiliki otoritas tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sementara itu, pemerintah merupakan bagian dari parlemen tersebut. Konsekuensinya, semua undang-undang harus bersumber pada aspirasi masyarakat dan tidak boleh mengambil rujukan keagamaan. Mereka menganggap kedaulatan Tuhan tidak bisa hidup dalam praktik politik di Australia. Mereka juga cenderung melakukan liberalisasi komunitas Muslim dengan tujuan menanamkan nilai-nilai liberal dan peradaban Barat.
            Percaturan kekuatan politik yang melibatkan kedua gerakan tersebut telah melandasi kebijakan pemerintah federal melakukan pengawasan yang amat ketat kepada kelompok-kelompok sosial Islam yang dituduh teroris. Undang-undang antiterorisme menjadi beban psikologis komunitas Muslim karena merasa selalu menjadi sasaran operasi intelijen dan polisi federal. Akan tetapi, percaturan kekuatan politik juga melandasi persamaan hak-hak komunitas Muslim serta mendapatkan jaminan hidup sesuai prinsip welfare state. Misalnya, pemerintah memberikan subsidi kepada lembaga-lembaga pendidikan dan kemasyarakatan Islam.

0 comments:

Post a Comment