Perkembangan Agama Dalam Masyarakat
Hubungan Muslim dan non-Muslim di Australia
mengalami pasang surut. Hal ini diakibatkan oleh banyak faktor, misalnya soal
kesejarahan, perkembangan situasi yang kompleks dengan adanya isu-isu baik
nasional maupun internasional, dan generalisasi yang berlebihan atas eksistensi
komunitas Muslim di Australia.
Dari sisi sejarah,
datangnya Islam di Australia diyakini dibawa oleh pelaut Makassar pemburu
tripang pada tahun 1750, kemudian terjalin hubungan dagang dan perkawinan
campuran. Fase berikutnya, pemerintah Australia mendatangkan pengendara unta
dari Afghanistan, yang awalnya dipakai untuk mengatasi keadaan alam yang sangat
sulit. Pada perkembangan berikutnya, mereka diberdayakan untuk membangun jalur
telegraf dan jalur kereta yang disebut Ghan Train. Fase selanjutnya, banyak
berdatangan imigran dari negara-negara Eropa dan Timur Tengah. Imigran dan
negara Eropa memang tidak signifikan bagi perkembangan komunitas Muslim di
Australia. Namun demikian, kedatangan imigran dari negara-negara Arab dan Timur
Tengah sangat signifikan dalam sejarah
perkembangan Islam di Australia.
Beberapa hal yang mempengaruhi hubungan antara
masyarakat Muslim dan non-Muslim di Australia, yaitu dilihat dari jumlah
kelompok keagamaan, tidak adanya overlapping antara agama yang berbeda, tidak
adanya ghettoisasi, dan tidak adanya politisasi atas perbedaan yang ada, yang
pada dasarnya mempengaruhi pasang surut hubungan antar masyarakat itu. Dari
hal-hal tersebut, suatu kesimpulan dapat ditarik bahwa meskipun hubungan antara
Muslim dan non-Muslim terkadang mengalami fluktuasi, namun masih dikatakan
wajar, yang artinya tidak mengarah kepada pengucilan permanen atas kelompok
Muslim.
Pesatnya perkembangan komunitas Islam di Australia
pada gilirannya tidak lagi di anggap sebagai faktor yang turut menggerakkan
perekonomian di Australia, tetapi kemudian dilihat sebagai bagian yang
“membahayakan” kelangsungan hidup komunitas kul it putih di Australia yang
didominasi budaya Anglo-Saxon. Sebagai akibatnya, hal ini memunculkan kebijakan
yang membatasi perkembangan komunitas Muslim dengan dikeluarkannya kebijakan
White Australia Policy, 1901.
Kebijakan ini berpengaruh terhadap menyurutnya
kedatangan imigran dari Timur Tengah dan negara Arab. Setelah kebijakan
tersebut direvisi pada tahun 1958 dan akhirnya dihapus sama sekali pada tahun
1972, barulah komunitas Islam di Australia menggeliat lagi dengan banyaknya
imigran dari negara-negara Arab dan Timur Tengah.
Sebagaimana
disinggung di atas, hubungan antarmasyarakat mengalami pasang surut, tergantung
pada isu-isu yang mewarnai perkembangannya. Hubungan antarmasyarakat pada
dasarnya terjalin dengan baik. Selama ini, pemerintah Australia dan masyarakat
Australia menghormati pelaksanaan asas multikultur Australia. Namun demikian,
hubungan memburuk manakala ada isu intemasional yang merupakan generalisasi berlebihan
atas suatu persoalan, atau stigma atas kelompok Muslim Australia yang
kemungkinan dipengaruhi oleh opini-opini yang dibangun media massa. Stigma
kedekatan Islam dengan terorisme, Arab, dan lain-lain yang menyudutkan umat
Islam di Australia, pada beberapa peristiwa telah memunculkan tindakan
diskriminatif bahkan kekerasan, seperti ketika dilakukan sweeping pada
komunitas Muslim Australia pasca peledakan Bom WTC dan Bom Bali.
Media massa memegang peran penting dalam pembentukan
opini publik khususnya yang berkaitan dengan eksistensi kelompok Muslim.
Meskipun dalam perkembangannya kelompok Muslim ini mengorganisasi diri dalam
berbagai bentuk organisasi, dari organisasi formal yang bergerak di bidang
sosial kemasyarakatan sampai organisasi radikal, diskursus yang berkembang
dalam masyarakat Australia khususnya yang berkaitan dengan fundamentalismc atau
terorisme tidak harus dihubungkan dengan keberadaan organisasi Islam ini.
Sayangnya, media massa terkadang bias dalam pemberitaannya sehingga sikap
masyarakat yang tidak berlebihan atas suatu hal diekspos besar-besaran oleh
media. Hal ini sering menimbulkan salah persepsi mengenai eksistensi komunitas
Muslim di Australia dan keterkaitannya dengan isu-isu terorisme. Dengan
semangat multikulturalisme, seharusnya bisa dibangun kondisi yang lebih
kondusif bagi munculnya pemahaman yang komprehensif mengenai komunitas Muslim
di Australia.
Kebijakan
Pemerintah Australia terhadap Minoritas Muslim
Kebijakan pemerintah federal Australia terhadap minoritas Muslim berjalan dalam ruang politik yang dikuasai oleh dua kekuatan politik, yaitu gerakan konservatif dan gerakan progresif. Kedua kekuatan politik itu, sesuai dengan sistem yang berlaku di Australia, selalu berusaha membangun kebijakan serasi sehingga bentuknya merupakan pelbagai variasi penerapan nilai-nilai liberalisme. Persamaan sikap kedua kekuatan politik yang paling menonjol adalah konsistensi mereka dalam menjalankan prinsip sekularisme dan praktik pemerintahan Westminster. Kedua konsistensi ini telah menempatkan komunitas Muslim Australia sebagai objek yang harus mengalami sosialisasi nilai-nilai liberal dan peradaban Barat.
Kebijakan pemerintah federal Australia terhadap minoritas Muslim berjalan dalam ruang politik yang dikuasai oleh dua kekuatan politik, yaitu gerakan konservatif dan gerakan progresif. Kedua kekuatan politik itu, sesuai dengan sistem yang berlaku di Australia, selalu berusaha membangun kebijakan serasi sehingga bentuknya merupakan pelbagai variasi penerapan nilai-nilai liberalisme. Persamaan sikap kedua kekuatan politik yang paling menonjol adalah konsistensi mereka dalam menjalankan prinsip sekularisme dan praktik pemerintahan Westminster. Kedua konsistensi ini telah menempatkan komunitas Muslim Australia sebagai objek yang harus mengalami sosialisasi nilai-nilai liberal dan peradaban Barat.
Kedua kekuatan politik yang dalam praktik kenegaraan
terwakili oleh Partai Liberal dan Partai Buruh selalu berusaha menegakkan
nilai-nilai sekuler dalam masyarakat. Manifestasinya ialah memegang teguh
peradaban Barat yang memisahkan kegiatan-kegiatan sosial politik dari
kegiatan-kegiatan keagamaan. Peradaban Barat menganggap kegiatan sosial politik
masyarakat sebagai urusan masyarakat sendiri. Oleh karena itu, kedua kekuatan
politik tersebut akan selalu melihat komunitas Muslim sebagai komunitas yang
tidak mengunggulkan identitas keagamaan dalam pergaulan kemasyarakatan. Program
multikulturalisme tampak sebagai koleksi budaya dan bukan koleksi cita-cita
kelompok sosial beragama. Kelompok sosial Islam dianggap sebagai bagian dari
koleksi budaya tersebut.
Kedua kekuatan politik juga sepakat menjaga sistem
politik yang merupakan warisan Inggris, di mana parlemen memiliki otoritas
tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sementara itu, pemerintah
merupakan bagian dari parlemen tersebut. Konsekuensinya, semua undang-undang
harus bersumber pada aspirasi masyarakat dan tidak boleh mengambil rujukan
keagamaan. Mereka menganggap kedaulatan Tuhan tidak bisa hidup dalam praktik
politik di Australia. Mereka juga cenderung melakukan liberalisasi komunitas
Muslim dengan tujuan menanamkan nilai-nilai liberal dan peradaban Barat.
Percaturan kekuatan politik yang melibatkan kedua gerakan tersebut telah melandasi kebijakan pemerintah federal melakukan pengawasan yang amat ketat kepada kelompok-kelompok sosial Islam yang dituduh teroris. Undang-undang antiterorisme menjadi beban psikologis komunitas Muslim karena merasa selalu menjadi sasaran operasi intelijen dan polisi federal. Akan tetapi, percaturan kekuatan politik juga melandasi persamaan hak-hak komunitas Muslim serta mendapatkan jaminan hidup sesuai prinsip welfare state. Misalnya, pemerintah memberikan subsidi kepada lembaga-lembaga pendidikan dan kemasyarakatan Islam.
Percaturan kekuatan politik yang melibatkan kedua gerakan tersebut telah melandasi kebijakan pemerintah federal melakukan pengawasan yang amat ketat kepada kelompok-kelompok sosial Islam yang dituduh teroris. Undang-undang antiterorisme menjadi beban psikologis komunitas Muslim karena merasa selalu menjadi sasaran operasi intelijen dan polisi federal. Akan tetapi, percaturan kekuatan politik juga melandasi persamaan hak-hak komunitas Muslim serta mendapatkan jaminan hidup sesuai prinsip welfare state. Misalnya, pemerintah memberikan subsidi kepada lembaga-lembaga pendidikan dan kemasyarakatan Islam.
0 comments:
Post a Comment